MAKALAH HUKUM TELEMATIKA
Penulis :Nama. : Muhammad Arief Hidayat
NPM. : 1517051086
Program Studi :Ilmu Komputer
Mata Kuliah. : Hukum Telematika
Dosen :Prof. Dr.I Gede AB Winarta,H.H., M.H.
JURUSAN ILMU KOMPUTER
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2017
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala kebesaran dan limpahan nikmat yang diberikan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul “Analisis Eektifitas Undang-Undang Internet Dan Transaksi Elektronik Dalam Menanggulangi Kejahatan Internet Di Indonesia ”.Adapun penulisan tugas makalah ini bertujuan untuk memenuhi Ujian Akhir Semester mata kuliah Hukum Telematika. Dalam penulisan laporan ini, berbagai hambatan telah penulis alami. Oleh karena itu, terselesaikannya tugas makalah ini tentu saja bukan karena kemampuan penulis semata, namun karena adanya dukungan dan bantuan dari pihak-pihak yang terkait, baik moril maupun materil.Sehubungan dengan hal tersebut, perlu kiranya penulis dengan ketulusan hati mengucapkan terima kasih, yang pertama kepada Tuhan YME, yang kedua kepada orang tuadan tidak lupa juga kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.Dalam penyusunan tugas makalah ini, penulis menyadari pengetahuan dan pengalaman yang sangat terbatas.Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak.Akhir kata, tiada gading yang tak retak, demikian pula dengan tugas makalah ini.Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun tetap penulis nantikan.
Abstrak
Perkembangan Teknologi Informasi (TI) dan pemanfaat internet kini semakin canggih, semua dapat memper mudah pekerjaan kehidupan manusia dalam berbagai proses ataupun hal lainnya Di sisi lain, juga memunculkan dampak yang besar terhadap meningkatnya kejahatan di dunia cyber. Keamanan Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Kejahatan ITE selalu beradu dalam berbagai persoalan terkait dengan Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sesuai dengan catatan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, kejahatan dunia cyber hingga pertengahan 2006 mencapai 27.804 kasus. Tia meliputi spam, penyalahgunaan jaringan teknologi informasi, open proxy (memanfaatkan kelemahan jaringan), dan carding. Data dari Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) menunjukkan, sejak tahun 2003 hingga kini, angka kerugian akibat kejahatan kartu kredit mencapai Rp 30 milyar per tahun (Ahmadjayadi, 2008). Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang disahkan DPR pada 25 Maret menjadi bukti bahwa Indonesia tak lagi ketinggalan dari negara lain dalam membuat peranti hukum di bidang cyberspace law.Kata kunci: kejahatan internet, UU ITE, Transaksi Elektronik
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan teknologi tidak dapat dihindari dalam kehidupan ini, karena kemajuan teknologi akan berjalan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang demikian pesat menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru. Setiap inovasi diciptakan untuk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, memberikan banyak kemudahan, serta sebagai cara baru dalam melakukan aktifitas manusia. Khusus dalam bidang teknologi, masyarakat sudah menikmati banyak manfaat yang dibawa oleh inovasi-inovasi yang telah dihasilkan dalam dekade terakhir. Semakin berkembangnya penggunaan internet dan teknologi informasi sebagai media untuk bertransaksi dan berkomunikasi elektronik maka akan semakin menjadikan kita akan lebih mudah dan cepat dalam menjalankan aktifitas. Di sisi lain, juga memunculkan dampak yang besar terhadap meningkatnya kejahatan di dunia cyber. Keamanan Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Kejahatan ITE selalu beradu dalam berbagai persoalan terkait dengan Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sesuai dengan penjelasan pada UU ITE, Pemanfaatan Teknologi Informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. Sesuai dengan catatan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, kejahatan dunia cyber hingga pertengahan 2006 mencapai 27.804 kasus. Tia meliputi spam, penyalahgunaan jaringan teknologi informasi, open proxy (memanfaatkan kelemahan jaringan), dan carding. Data dari Asosiasi Kartu Kredit Indonesia AKKI) menunjukkan, sejak tahun 2003 hingga kini, angka kerugian akibat kejahatan kartu kredit mencapai Rp 30 milyar per tahun (Ahmadjayadi, 2008). Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik UU ITE) yang disahkan DPR pada 25 Maret menjadi bukti bahwa Indonesia tak lagi ketinggalan dari negara lain dalam membuat peranti hukum di bidang cyberspace law. UU ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik. Esensi UU ITE melingkupi seluruh transaksi berbasis elektronik seperti komputer serta jaringan dan memiliki kekuatan hukum. UU ITE dipersepsikan sebagai cyberlaw di Indonesia, yang diharapkan bisa mengatur segala urusan dunia internet (cyber), termasuk didalamnya memberi hukuman terhadap pelaku cybercrime (Wahono, 2008). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang UU ITE tidak semata-mata ditujukan kepada subjek hukum tertentu, tetapi ditujukan terhadap setiap orang sebagai penegasan frasa “setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Pemerintah menganggap UU ITE merupakan bentuk perlindungan umum (general prevention) yang diberikan oleh negara kepada setiap orang (Peranginangin, 2009). Upaya Upaya pemerintah untuk menjamin keamanan transaksi elektronik melalui UU ITE ini patut diapresiasi. Tetapi dalam praktiknya, banyak sekali protes maupun kecamankecaman dari beberapa komunitas pengguna internet. Jika dibaca sepintas tanpa menelaah lebih dalam, UU ITE ini terkesan hanya sebagai juru selamat bagi keamanan transaksi elektronik atau pornografi di internet, seperti yang selama ini banyak diberitakan media. “UU ini telah jauh “melenceng” dari misi awalnya yang hendak melindungi perdagangan dan transaksi elektronik (Suriyani, 2008). Pada bahasan ini, penulis mencoba untuk mengelaborasi dan melakukan reviu kritis dari berbagai segi yang terkait dengan UU ITE tersebutB. Rumusan Masalah
1. Apakah dampak negatif yang di timbulkan dari adanya Internet di indonesia2. Bagaimana cara UU ITE melindungi masyarakan dengan adanya kejahatan internet di indonesia
3. Apakah UU ITE dapat menjadi pedoman dalam mengatasi kejahatan internet
II. PEMBAHASAN
A. Dampak penggunaan teknologi informasi
Menurut Patricia Aburdene & John Naisbitt dalam (www.dampak-positifteknologiinformasi.com), Dampak positif penggunaan teknologi informasi antara lain :- Internet sebagai media informasi, merupakan alat yang paling banyak digunakan dimana setiap pengguna internet dapat berkomunikasi dengan pengguna lainnya dari seluruh dunia
- Media pertukaran data yang dapat saling bertukar informasi dengan cepatdan murah
- Media untuk mencari informasi atau data, seperti perkembangan internet yang pesat, menjadikan sebagai salah satu sumber informasi yang penting dan akurat.
- Kemudahan memperoleh informasi sehingga manusia tahu apa saja yang terjadi.
- Digunakan sebagai lahan informasi untuk bidang pendidikan, kebudayaan,dan lain-lain
Sedangkan dampak negatif penggunaan teknologi informasi antara lain :
- Mengurangi sifat sosial manusia karena cenderung lebih suka berhubungan lewat internet daripada bertemu secara langsung (face to face)
- Dari sifat sosial yang berubah dapat mengakibatkan perubahan pola masyarakat dalam berinteraksi
- Kejahatan seperti menipu dan mencuri dapat dilakukan di internet (kejahatan juga ikut berkembang
- Bisa membuat seseorang kecanduan, terutama yang menyangkut pornografi dan dapat menghabiskan uang karena hanya untuk melayani kecanduan tersebut.
B. CyberCrime
Dr. Siswanto SH., MH. MKn mengemukakan bahwa: “Perkembanagan tersebut telah melahirkan suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika. Hukum siber atau cyber law secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi”.
Menurut Jhonatan, cybercrime adalah sebuah kejahatan yang identifikasi berdasarkan penggunaan yang tidak dapat difenisikan berdasarkan lokasi. Data yang tersimpan dapat menjadi yuridiksi bukti hukum dari kejahatan ini.
Menurut Kepolisian Ingris, cybercrime adalah segala macam penggunaan jaringan komputer untuk tujuan criminal dan/atau kriminal berteknologi tinggi dengan menyalahgunakan kemudahan teknologi digital
Instrumen hukum internasional yang mengatur masalah kejahatan mayantara (cybercrime)yang saat ini paling mendapat perhatian adalah Convention on Cyber Crime 2001yang digagas Uni Eropa.Konvensi ini dibentuk dengan pertimbangan-pertimbangan, antara lain: Pertama, bahwa masyarakat internasional menyadari perlunya kerjasama antarnegara dan industri dalam memerangi kejahatan siber dan adanya kebutuhan untuk melindungi kepentingan yang sah di dalam penggunaan dan pengembangan teknologi informasi. Kedua, konvensi saat ini diperlukan untuk meredam penyalahgunaan sistem, jaringan dan data komputer untuk melakukan perbuatan kriminal. Ketiga, saat ini sudah semakin nyata adanya kebutuhan untuk memastikan suatu kesesuaian antara pelaksanaan penegakan hukum dan hak asasi manusia sejalan dengan Konvensi Dewan Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kovenan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1966 tentang Hak Politik dan Sipil. Konvensi ini telah disepakati oleh Uni Eropa sebagai
konvensi yang terbuka untuk diaksesi oleh negara manapun di dunia. Hal ini dimaksudkan untuk dijadikan norma dan instrumen Hukum Internasional dalam mengatasi kejahatan siber, tanpa mengurangi kesempatan setiap individu untuk tetap mengembangkan kreativitasnya dalam mengembangkan teknologi informasi.
Meskipun belum terdapat kesepahaman mengenai definisi kejahatan teknologi informasi, namun ada kesamaan pengertian universal mengenai kejahatan komputer. Hal ini dapat dimengerti karena kehadiran komputer yang sudah mengglobal mendorong terjadinya universalisasi aksi dan akibat yang dirasakan dari kejahatan komputer tersebut.
Jenis-jenis kejahatan yang masuk dalam kategori cyber crime diantaranya: 1. Cyber-terrorism National Police Agency of Japan (NPA) mendefinisikan cyber terrorismsebagai electronic attacks through computer networks against critical infrastructures that have potential critical effects on social and economic activities of the nation 2. Cyber-pornography; penyebarluasan obscene materials termasuk pornography, indecent exposure,dan child pornography. 3. Cyber-harassment; pelecehan seksual melalui e-mail, websites, atau chat programs. 4. Cyber-stalking: crimes of stalkingmelalui penggunaan komputer dan internet.
Sebagai negara berkembang seperti yang juga telah terpengaruh oleh bidangteknologi informasi, indonesia kini telah memiliki sebuah undang-undang yangmengatur tentang etika berinternet. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor11 tahun 2008 adalah undang-undang yang mengatur tentang Teknologi informasidan transaksi elektronik.Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet. UU ITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis diinternet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terdiri dari 13 bab dan 54 pasal, terdiri dari beberapa bagian yang dirangkum sebagai berikut:
Informasi dokumen, dan tanda tangan elektronik tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas). Penyelenggaraan sertifikasi elektronik dan sistem elektronik :UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia. Transaksi elektronik :Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat dan para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya serta Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi Elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik. Pengaturan Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual dan perlindungan hak pribadi. Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37): Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan) Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan) Pasal 29(Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti)
Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking) Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi) Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia) Pasal 33 (Virus, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS)) Pasal 35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik(phising))
Penyelesaian sengketa :Setiap Orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian atau secara perwakilan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang berakibat merugikan masyarakat, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Peran Pemerintah dan Peran Masyarakat :Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Penyidikan dilakukan berdasarkan ketentuan dalam KUHAP dan ketentuan dalam UU ITE dan dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan Pidana
C. Asas-Asas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
D. Keberlakuan Hukum dalam Ruang Maya
Aktivitas di internet tidak dapat dilepaskan dari faktor manusia dan akibat hukumnya juga bersinggungan dengan manusia di masyarakat yang berada dalam dunia fisik, maka kemudian muncul pemikiran tentang perlunya aturan hukum untuk mengatur aktivitas-aktivitas di dalam ruang maya (cyberspace) tersebut. Oleh karena karakteristik ini sangat berbeda, maka muncul pendapat pro dan kontra mengenai dapat atau tidaknya hukum konvensional yang mengatur aktivitas-aktivitas di dalam ruang maya. Hal ini akan menimbulkan perdebatan dalam pengaturannya. Secara umum, permasalahan pro dan kontra mengenai dapat atau tidaknya sistem hukum konvensional mengatur aktivitas-aktivitas di cyberspace yaitu; 1. Karakteristik aktivitas-aktivitas di internet sebagai bagian dari teknologi informasi adalah lintas batas atau hubungan dunia menjadi tanpa batas sehingga tidak lagi tunduk pada batasan-batasan territorial dan menyebabkan perubahan ekonomi, sosial, teknologi dan budaya secara signifikan.
2. Sistem hukum konvensional yang justru bertumpu pada territorial, dianggap tidak cukup untuk memadai untuk menjawab permasalahan-permasalahan hukum yang baru timbul dan dimunculkan oleh aktivitas-aktivitas manusia di dalam dunia ruang maya (Jurnal Hukum Bisnis:2010:9). Selanjutnya dalam perjalanan pengaturan internet dengan hukum juga telah menimbulkan pro dan kontra, yang di prakarsa oleh 3 (tiga) kelompok, yaitu: 1. Kelompok pertama; menolak secara total setiap upaya untuk menciptakan setiap aturan-aturan hukum bagi aktivitas-aktivitas dalam cyberspace. Alasannya bahwa internet sebagai surga demokrasi yang menyediakan lalu lintas ide secara bebas dan terbuka, tidak boleh dihambat oleh aturan-aturan yang di dasarkan atas sistem hukum konvensional yang bertumpu pada batasan-batasan territorial.
2. Kelompok kedua; bahwa penerapan sistem hukum konvensional untuk mengatur aktivitas-aktivitas dalam cyberspace mendesak untuk dilakukan tanpa harus menunggu berakhirnya perdebatan akademis tentang sistem hukum mana yang paling tepat. Hal ini didasari oleh pertimbangan bahwa meluasnya akibat negatif yang ditimbulkan oleh aktivitas-aktivitas dalam cyberspace yang telah memaksa segera dibentuk aturan hukum yang mengaturnya. 3. Kelompok ketiga; mengacu pandangan dari kedua kelompok di atas, yaitu bahwa aturan hukum yang mengatur aktivitas-aktivitas dalam cyberspace harus dibentuk secara evolutif dengan menerapkan prinsipprinsip hukum secara umum dengan hati-hati, akurat serta melibatkan peran masyarakat dan menitik beratkan pada aspek-aspek tertentu dalam cyberspace yang menyebabkan kekhasan pada transaksitransaksi melalui internet.(Danrivanto Budhiyanto,2010:38).
E. Implementasi Undang- undang ITE dan Kasus-kasus
Berkaitan dengan aktivitas dan kegiatan bisnis masyarakat pengguna transaksi atau perdagangan elektronik (e-commerce), UU ITE merupakan Payung Hukum yang melingkupi kegiatan transaksi atau perdagangan elektronik di dunia maya (cyberspace) tersebut. Namun sejak kelahiran Undang-Undang No. 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut, permasalahan dalam undang-undang tersebut dan pasal-pasal pencemaran nama baik atau delik reputasi pada undang-undang tersebut memiliki banyak cacat bawaan, kesimpang siuran rumusan, dan inkonsistensi hukum pidana. Sebenarnya undang-undang tersebut di atas khusus diperuntukkan mengatur perdagangan elektronik di internet, akan tetapi ternyata undang-undang ini ikut mengatur halhal yang sebenarnya telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya tentang penghinaan dan pencemaran nama baik. Hal ini mengindikasikan adanya penduplikasian tindak pidana yang justru rentanterhadap terjadinya ketidak pastian hukum sehingga menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Duplikasi ini akhirnya dapat merugikan masyarakat sendiri karena tidak tahu perbuatan mana yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan dilakukan menurut hukum. Korban dari kekaburan rumusan pasal tersebut telah dapat terlihat, namun kejadian ini merupakan suatu hal yang postitif dengan adanya reaksi sebagian besar masyarakat yang telah melakukan penolakan terhadap bentuk kriminalisasi tersebut. Khususnya yang dilakukan aparat hukum atas kasus pencemaran nama baik.
Beberapa peristiwa hukum yang sangat fenomenal seperti kasus di bawah ini:
1. Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi Pasal 27 ayat 3 yang dilakukan oleh pemohon Sdr. Eddy Cahyono, Nenda, Amrie, PBHI, AJI, LBH Pers, yang berdasarkan Putusan No. 2/PUU-VII/2009 MK menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima yang diputuskan dalam rapat Permusyawaratan Hakim Konstitusi tertanggal 4 Mei 2009.
2. Kasus hukum Prita Mulyasari; mantan pasien Rumah sakit Omni Internasional Tangerang yang sempat ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang selama 3 minggu oleh pihak Kejaksaan karena dituduh melanggar Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Hal ini telah menimbulkan gugatan dan kecaman dari sejumlah kalangan. Namun Jaksa Agung telah melakukan langkah yang tepat dengan memerintahkan pemeriksaan terhadap Jaksa yang menangani kasus Prita Mulyasari sehingga kasus ini tetap proposional. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika menyambut baik atas dibebaskannya Prita Mulyasari dalam kasus tuduhan pencemaran nama baik. Akhirnya Prita Mulyasari mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung dan hasilnya MA mengabulkan permohonannnya serta bebas pada tanggal 17 September 2012 berdasarkan nomor perkara No. 22 PK/Pid.sus/2011 oleh Majelis Peninjauan Kembali yang diketuai oleh Ketua Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung Djoko Sarwoko dan beranggotakan hakim agung Surya Jaya dan Suhadi. (Anggara, Supriyadi, Ririn Sjafrani, 2010:96)
F. PENYELESAIAN SECARA PERDATA
Beberapa negara seperti Amerika Serikat, China, Inggris, Jepang, atau Korea, Malaysia, dan Singapura yang telah menerapkan Cyber Law cenderung menyelesaikan masalah Cyber Law secara perdata. Dan belum ada kasus-kasus penghinaan atau pencemaran nama baik di negara-negara tersebut yang terjadi karena pemanfaatan media elektronika diselesaikan secara pidana apalagi sampai dipenjara.Sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang disahkan pada tanggal 21 April 2008 telah dimasalahkan oleh Asosiasi Internet Indonesia (AII). AII mencatat 6 kelemahan terdapat dalam UU ITE yaitu: proses penyusunan, salah kaprah dalam definisi, tidak konsisten, sarat dengan muatan standar yang tidak jelas, menghambat penegakan hukum, dan mengabaikan yurisdiksi hukum.
Lebih dari itu, UU ITE yang berjumlah 54 pasal sarat dengan Perbuatan Yang Dilarang yang diatur dari pasal 27 sampai dengan pasal 37 atau berjumlah 11 pasal yang berarti 20% dari seluruh pasal. Ketentuan Pidana berjumlah 8 pasal atau 14,8% diatur dari pasal 45 sampai dengan pasal 52. Dengan komposisi seperti itu agak bertolak belakang dengan harapan Menkominfo saat pengesahan UU itu agar UU itu dapat memberikan kepastian hukum, dan mendorong pertumbuhan ekonomi dan mencegah dampak negatif cyber crime.
Jika menelaah sanksi pidana terendah namun dengan hukuman maksimal 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1 milyar rupiah dikenakan terhadap siapa saja yang terbukti melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik tanpa berkaitan dengan transaksi ekonomi tentu harus dipertanyakan apa tujuan yang sebenarnya mencantumkan sanksi maksimal 6 tahun? Apakah masalah penghinaan di tanah air sudah demikian marak, dan mengganggu ketertiban umum yang luar biasa sehingga perlu dikenakan sanksi pidana selama itu?
Bandingkan dengan pasal 310 KUH Pidana -yang serupa dengan pasal 27 ayat (3) UU ITE- yang mengatur sanksi pidana terhadap penghinaan atau pencemaran nama baik yang memberikan sanksi pidana maksimal 9 bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah.
Memperhatikan konsideran, penjelasan serta Asas dan Tujuan disahkannya UU ITE sungguh tidak logis penggunaan pasal 27 ayat (3) UU ITE dan sanksi pidana maksimal 6 tahun didakwakan terhadap siapa saja yang melakukan penghinaan apabila tindakan ”penghinaan” itu tidak berkaitan hubungan bisnis yang setara atau sejenis antara tersangka dengan saksi korban atau pelapor, apalagi yang dilakukan tersangka dapat diduga kuat berupa keluhan terhadap pelayanan yang dilakukan pelapor atau saksi korban. Selayaknya tujuan lain dari UU ITE atau Cyber Law itu mampu mempercepat aktifitas bisnis dan memberi perlindungan terhadap para pelaku usaha, dan mencegah penyalahgunaan media elektronik, dan bukan mempidanakan masyarakat yang menyampaikan keluhan.
G. PERSEKONGKOLAN DALAM PENYIDIKAN ATAU PENUNTUTAN
Kerap kali terjadi persekongkolan antara saksi (pelapor) dengan penyidik, dan atau penuntut umum agar terlapor, atau tersangka dicarikan sanksi pidana yang memungkinkan terlapor atau tersangka dapat ditahan. Salah satu cara yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum adalah mencarikan pasal dengan sanksi pidana di atas 5 (lima) tahun meski sangkaan pelanggaran itu sebenarnya tidak mencapai 5 (lima) tahun. Misalnya, pelanggaran UU Desain Industri dikenakan sanksi pidananya maksimal 4 (empat) tahun, lalu oleh Penyidik atau Penuntut Umum dikenakan pula ketentuan UU Hak Cipta yang mengenakan sanksi pidana maksimal 7 (tujuh) tahun. Atau modus baru yang dilakukan penyidik atau penuntut umum adalah pelanggaran pasal 310 atau pasal 311 KUH Pidana tentang penghinaan atau pencemaran nama baik, yang mencantumkan pula pasal 27 ayat (3) UU ITE. Dengan penerapan pasal dengan sanksi pidanalebih dari 5 (lima) tahun menjadi alasan bagi penyidik atau penunut umum melakukan penahanan terhadap tersangka.
Untuk memperkuat sangkaan penyidik atau penuntut umum, dimintakan pula keterangan ahli hukum pidana atau hukum lainnya yang bisa mendukung terpenuhinya unsur-unsur pidana tersebut. Tentunya, keterangan ahli disiapkan oleh pelapor atau atas rujukan penyidik, atau penuntut umum, dan segalanya sesuatunya diduga tidak diberikan secara gratis.
Upaya penahanan dilakukan agar terlapor, atau tersangka jera tidak melakukan perbuatan pidana lagi, atau agar terjadi tindakan ”perdamaian” paksa antara pelapor, atau saksi (korban) yang diselesaikan pada tingkat penyidikan, atau penuntutan.
Kejaksaan Agung telah mengakui bahwa penuntut umum dalam kasus dugaan penghinaan yagn dilakukan Prita pada Pengadilan Negeri Tangerang tidak profesional, dan selayaknya tidak cukup hanya pernyataan itu saja, tapi menindaklanjuti kemungkinan pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan pasal titipan karena faktor-faktor eksternal pemilik modal.
Menkominfo dan para perancang UU itu mungkin tidak menduga bahwa UU ITE dapat dimanfaatkan pemilik modal untuk menjerat anggota masyarakat dengan dalih penghinaan atau pencemaran nama baik meski tindakan itu tidak berkaitan dengan informasi yang berkaitan dengan transaksi melalui sarana elektronik.
Bahwa tidak dipungkiri UU ITE diperlukan masyarakat, dan pemerintah untuk mencegah dan sarana represif penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik. Namun, setiap UU termasuk UU ITE pun harus memiliki jiwa yang dapat mencegah kemungkinan disalahgunakan oleh para penegak hukum ”bayaran” untuk menghakimi anggota masyarakat karena sanksi pidana dalam UU ITE dianggap tidak logis, bahkan cenderung zalim.
Sarana elektronik sesungguhnya dapat digunakan sebagai sarana bagi masyarakat untuk mengembangkan dan membangun masyarakat yang berbudaya menulis. Salah satu kelemahan masyarakat Indonesia adalah malas mengomunikasikan secara tertulis dan hanya berkomunikasi secara lisan. Padahal untuk menjadi bangsa yang memiliki budaya yang kuat harus mampu menorehkannya dalam bentuk tulisan. Jangan sampai curahan hati-pikiran, gagasan-gagasan, guyonon, atau pengembangan kreatifitas seni dan sastra, serta teknologi yang memanfaatkan sarana elektronik dikenakan sanksi pidana UU ITE.
UU ITE hanyalah susunan kalimat yang bisa menjadi bencana atau ber makna bagi masyarakat akan sangat tergantung pada mental dan moral para penegak hukumnya. UU itu akan menjadi tanpa jiwa jika penegak hukum tidak menggunakan logika, dan hati nuraninya tapi hanya sekedar memenuhi unsurunsur pidana dalam pasal-pasal pada UU itu tanpa mau memahami asas, tujuan, dan makna disahkannya UU itu.
Namun, UU yang karut-marut akan menjadi teduh bagi masyarakat jika dijalankan oleh para penegak hukum yang masih memiliki iman dan keadilan
III. Kesimpulan
Undang‐Undang ITE dikenal sebagai instrumen hukum yang mengatur segala aspek teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia. Di dalamnya termuat ketentuan tentang informasi dan dokumen elektronik, transaksi elektronik, penyelenggaraan sertifikasi elektronik, hak kekayaan intelektual dan perlindungan pribadi, penyadapan, sanksi pidana dan sanksi adminsitratif, serta banyak aspek‐aspek lain yang berkenaan dengan para pelaku dan objek dalam dunia teknologi informasi dan komunikasi. Jika ditinjau secara keseluruhan, pengaturan yang termaktub dalam UU ITE nampak sangat dipaksakan karena memadukan banyak norma hukum yang pengaturannya dapat dilakukan dalam instrumen hukum yang terpisah. Konsekuensinya, aspek‐ aspek pengaturan dalam UU ITE nampak kurang koheren antara satu dengan yang lainnya. terlepas dari itu, banyaknya aspek yang berusaha diatur membuat pendalaman norma hukumnya menjadi dangkal dan berkutat pada tataran permukaannya saja.
Akibat situasi itu, muncul setidak‐tidaknya dua maslaah krusial dalam tubuh UU ITE: Pertama, sebagai undang‐ undang yang menjadi dasar pengaturan pemanfaatan tekonologi internet, UU ITE bisa dikatakan belum berhasil menjadi pedoman yang komprehensif bagi lalu lintas konten internet. Ketentuan dalam UU ITE cenderung berfokus pada pemidanaan perbuatan matteriilnya. Hal‐hal seperti penindakan terhadap konten yang dinilai bermuatan negatif belum diakomodasi oleh undang‐undang yang bersangkutan meskipun muncul kebutuhan atas hal itu. Akibtanya muncul aturan teknis yang bisa dikatakan tidak selayaknya menanggung muatan norma hukum yang demikian.
Kedua, terkait dengan ketentuan pemidanaan, yang pengaturannya justru dilatarbelakangi kesadaran bahwa internet tidak bisa dipisahkan dari potensi kejahatan, mengingat internet memfasilitasi lalu lintas kegiatan manusia
sebagaimana di kehidupan nyata. Akibatnya pembuat kebijakan nampak tidak memperhitungkan dengan baik dampak dari rumusan norma hukum ketika diimplementasikan dalam tataran praktik. Hal ini kemudian berdampak pada terjadinya keganjilan‐keganjilan seperti tingginya ancaman hukuman, duplikasi tindak pidana, yang justru menyebabkan penggunaan ketentuan pidana tersebut lentur hingga berujung pada terbelengunya kemerdekaan berpendapat dan berekspresi dari warga negara. Ironis ketika pembuatan suatu hukum ditujukan untuk menegakkan dan melindungi HAM, namun pada akhirnya justru berakibat pada pelanggaran HAM itu sendiri.
IV. Daftar Pustaka
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 58 Tahun2008.
Jurnal Hukum Bisnis, Efektifitas UU ITE Dalam Penyelesaian Sengketa E- Commerce,Volume 29, Nomor 1, 2006.
Sitompul, Josua. 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana. Jakarta : Tatanusa
Sulianta, Feri. 2008. Komputer Forensik. Jakarta : Gudang Penerbit. 182 hlm
No comments:
Post a Comment